DI langit awan kumulus membentuk sebuah relief. Mataku sangat tertarik untuk mengamati dan pikiranku pun amat senang bermain imajinasi dengannya. Tak kuhiraukan teman-teman yang tertegun mendengarkan wejangan dari kepala sekolah. Kumulus putih bergerak pelan berangsur-angsur merubah rekaan relief yang sedari tadi bermain di alam pikiranku. Matahari nampaknya enggan menebarkan sengatannya sehingga tak terdengar satu pun dari kami berkeluh atau berkipas-kipasan. Tapi, ini juga hal langka menurutku, entah karena hari ini adalah hari terakhir petinggi sekolah memberikan wejangan buat kami. Entahlah…
Sudah satu jam, mungkin lebih. Kami berkumpul di tengah halaman sekolah, namun tak satu kata pun menyangkut di otakku. Aku sepertinya bertukar jiwa dengan Buroq, orang yang paling buruk perangainya di sekolah, khususnya di kelasku. Memang sesekali jiwa itu perlu juga bertukar. Orang jahat juga perlu menemui sisi kemanusiaannya secara hakiki, dan begitu pula orang suci (ah, lebih tepatnya orang sok suci). Karena tak ada satupun sekarang ini orang yang terpelihara kesuciannya di dunia ketika menemui siapa sesungguhnya dirinya, yang berasal dari setetes air hina.
Kumulus mereliefkan sebuah kisah pertempuran seekor naga raksasa dengan seorang kurcaci. Pergerakan angin berangsur-angsur mengubah naga yang ganas menjadi putri jelita, sedangkan kurcaci tiba-tiba berubah jadi mahluk bertanduk dan bertaring, bersiap hendak menelan putri jelita. “he he he… ya itu baru kehidupan, siklus hidup yang dinamis.”
Tawa dan ucapan kecilku ini ternyata mengganggu Ilai, teman di sebelah kiriku. Mata sipitnya melotot, ”Sepertinya autis menyerangmu. Atau kau memang tak khawatir dengan keputusan masa depan? Tengok, Buroq saja yang bajingan, khidmat sekali!” Ilai bersungut memandang wajahku.
“Untuk apa khawatir, bukankah kalian dan para fasilitator telah melakukan usaha yang sangat maksimal?” Mataku tak beranjak dari langit.
Ilai agak tersinggung dengan ucapanku, ”Apa? Kalian!?” Ia menyikut lenganku. “Jadi kau pengecualiannya?” Aku tak bergeming. Sejurus kemudian Ilai menarik nafas cukup dalam dan meneruskan ucapannya, ”Dengar ya, Min! Sejujur dan selurus apapun kamu, aku yakin kamu takkan luput dari proses keadaan genting lima hari barusan. Sepertinya kau yakin sekali lulus dengan hasil murnimu itu!” Kalimat terakhirnya terkesan mengejek.
“Tidak. Bahkan aku tak terima kalau aku lulus.” Nada tegas yang penuh kepura-puraan itu mengubah wajah tirus dihiasi poni tipis yang lurus. Tadinya tak bersahabat sekarang menunjukkan sebuah kemafhuman.
Ilai menyibak poni tipisnya, “Kau tak menginginkan sesuatu yang mejadi harapan semua pelajar di dunia ini? Kau pintar, Min. Kenapa kau jadi seperti ini? Apa karena kejeniusanmu yang mengubah sudut pandang universal kaum pelajar? Atau kau lah gila, tak peduli dengan abah dan emakmu yang selalu bangga dengan putranya. Nur Al’amin?”
Ucapan lirih separuh menjerit dari mulut gadis berperawakan orang Thailand pada umumnya ini membuatku tertegun. “Nur Al’amin! Nama itulah yang membuatku autis Lai, andai saja aku punya nama sepertimu: hanya I-l-a-i, tentu aku takkan terjebak dalam dua dunia yang berlawanan ini. Aku ingin setara dengan kalian, tapi sistem ujian nasional dan nama itu memperjelas ketidakwarasanku…” Seruku bergemuruh dalam hati.
“He! Kenapa diam! Masih dalam ketidaknormalan, kawan?” Mengelap keringat yang mengalir di kulit sawo matangnya.
“Ah eh hem, aku terdiam ya?” Aku menetralisirkan pikiranku yang berkecamuk, kecamuk yang terjadi karena adanya dunia saling tarik dari dua kutub yang berlawanan. Dunia kiri menebarkan penyesalan, amarah, iba palsu, dan kutukan terhadap nama Nur Al’amin. Seolah-olah telah meramalkan akibat yang akan terjadi oleh nama itu. Sedangkan dunia kanan memancangkan ketegaran meniup tebaran yang ditebarkan dunia kiri agar Nur Al’amin tidak kabur dari cahayanya. Beberapa detik kemudian kuteruskan ucapanku.
“Kau benar sobat. Aku memang autis dan gila. Tapi aku nyaman dengan keadaan ini. Harapan semua kaum pelajar yang kau umbar tadi, juga hakku. Hak siapa saja. Siapa saja boleh mendapatkannya. Tak pandang bulu dengan kuantitas usaha yang ia pertaruhkan, bukan?”
Ilai melengos, sepertinya ia mengerti, namun tetap menganggapku sahabatnya yang dungu. Aku tak peduli. Tanpa disadari ternyata kepala sekolah telah usai berkoar-koar di atas podium. Para wali kelas menghampiri barisan siswanya masing-masing, sembari membagikan amplop putih persegi panjang ke tangan para siswa sesuai nama yang tertera di amplop itu.
Jari-jari lentik Ilai bergetar hebat menyobek amplop yang baru ia terima dari tangan wali kelas kami yang keibu-ibuan itu. Selanjutnya wajah keibu-ibuan itu menatap dalam menancap ke bola mataku, tembus ke sukma. Ia mengulurkan amplop yang memang tinggal satu di tangannya. Ketika amplop itu telah berpindah ke tanganku dan hendak disobek, mendadak wali kelasku yang bernama Syifa ini memelukku dengan erat. Hanya kami yang berdiri khidmat dalam rangkulan. Semua siswa bersujud syukur di lantai lapangan sambil berteriak, “Makasih ya, Tuhan…!” Sementara kepala sekolah dan guru-guru lain mematung di sekitar podium menyaksikan pemandangan bak pertujukan visualisasi puisi atau drama musikal yang hening.
Air mata bu Syifa terasa hangat tembus melalui serat baju putihku yang tak putih lagi, “Bu…aku tau makna tatapan dan pelukan ini. Tapi aku tak tahu di mana posisi jiwaku saat ini…”
Ia tak berkata apa-apa melainkan melepaskan pelukkannya. Lalu, ”Plak!” Perih. Bu Syifa berlari kecil meninggalkan bekas tamparannya yang memerah di pipi kiriku. Amplop kubuka. Mataku langsung terhunus pada dua buah kata negasi untukku. Sungguh, aku tak percaya dengan keyakinanku sebelumnya.
Pernyataan negasi di bentangan kertas dan rasa perih di pipi yang masih membekas dan mungkin tetap membekas sampai kapan pun, membawaku ke sebuah kenangan selama aku berada di bangku SMA ini.
Betapa waktu itu aku dengan mudah menciptakan pontenan sempurna setiap kali mengikuti ujian atau ulangan. Betapa aku acap kali mendapat sindiran serta tatapan sinis teman-teman yang tidak kuberikan contekan. Entah berapa kali Buroq, pengaman kelas kami, kertas ujiannya disobek dan tidak diperbolehkan mengikuti ulangan, karena ketahuan merampas lembar jawabanku. Bahkan entah berapa kali pula catatan nama-nama teman yang menyontek dan melihat catatan saat ulangan kuserahkan pada wali kelas.
Setiap kali akan ujian, wali kelasku diam-diam menemuiku.
“Amin, seperti biasa ya! Ibu percayakan padamu, agar nilai yang tertoreh di lapor adalah nilai adil.”
“Ta…tapi, Bu?” Kucoba mengelak.
“Yang lain sepertinya sulit.” Bu Syifa memelas.
Aku tak berdaya kalau sudah melihat wajah guru yang kucintai ini. ”Baiklah.” Lirihku disertai anggukkan lemas.
Bu Syifa tersenyum seraya membetulkan kaca matanya yang melorot ke perut hidung. Ia tak tau apa yang membuatku keberatan dan terpaksa.
Jam istirahat berbunyi. Buroq menghampiriku dengan bara api di wajahnya. Aku tak takut. Wajah seperti itu sudah tak terhitung menghampiriku. Cuma aku heran dari mana ia tau kalau aku ditugasi bu Syifa. ”He, kau pikir jujur satu-satunya kunci kesuksesan, hah!” Air ludahnya muncrat ke mukaku.
“Kau tau ‘kan, UN nanti saja kita disuruh bantu-membantu dan mungkin beli soal dianjurkan. Ini, kau malah menjerumuskan. Gimana untuk menghadapi UN nanti?” Ia mencengkram kerah bajuku dengan kasar.
“Inikan belum UN.”
“Alah, kau lugu atau dungu, hah?” Kepalan kekarnya mencium perutku. Ngilu sekali.
Aku tersungkur memegangi perutku. Aku tau dia memang sudah cukup sabar.
Aku bingung, tak mengerti dosa jadi pahala. Itulah kesan yang kutangkap dari jalannya UN. Hari ke dua kurenggut nama yang menempel di seragamku. Lalu kuinjak-injak. Aku kesal dengan keyakinanku di hari pertama. Namun di hari berikutnya nama itu tak sanggup lagi kulepaskan.
Aku berupaya mengumpulkan puing-puing yang kudapati dari proses berinteraksi dengan para pengajar selama ini, tetap saja itu tak cukup. Pemandangan keyakinan yang lain pada kertas-kertas kecil yang berisi huruf A sampai E yang tak beraturan, melumpuhkanku. Namun, nama Nur Al’amin menegarkanku untuk menghitamkan LJUN tanpa kertas kecil tersebut. Kertas yang sempat menodai keteguhanku, menggoyahkan pendirianku. Siapa yang harus kumaki, diriku terlalu dungu untuk kumaki. Aku memang ingin memaki perubahan yang menata rapi kuantitas tanpa menjangkau kualitas.
***
Langkahku lemah. Di langit awan kumulus berangsur-angsur kelabu, keberatan membawa kantung-kantung mendung untuk ditumpahkan ke bumi. Kantung-kantung yang entah mengantungi air mata siapa. Air mata kesedihankukah? atau kesedihan awan pada mereka yang berbohong pada diri sendiri? Mungkin awan merengek meminta permen Heks yang sudah diganti dengan permen Blaster.***